Hermeneutika Muhammad Arkoun (Kajian Kritis)

 

PEMBAHASAN

  1. Biografi Muhammad Arkoun

Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir dan penduduk Berber hidup dari hasil pertanian, ternak dan berdagang kerajinan tangan. Berber sendiri merupakan sebutan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Semula – sebelum ter-arabkan – mereka berbahasa dengan bahasa non Arab (‘ajamiyah).[1]

Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.

Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[2]

Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.

Arkoun menyelesaikan pendidikan dasar di desa asalnya, Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.[3]

Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4]

Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.[5]

  1. Hermenuetika Muhammad Arkoun
  2. Karakteristik Pemikiran Muhammad Arkoun
  3. Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis.
  4. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[6]
  5. Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi), filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan sosiolog seperti Pierre Bourdieu.[7]
  6. Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme, itu untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter-, tak- dan di-pikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier).
  7. Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).
  8. Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.[8]
  9. Metode Hermenutika Muhammad Arkoun

Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:

1) mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;

2) Menetapkan suatu kriteriologi[9] yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.[10]

Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):

  1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak.
  2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.
  3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.[11]
  1. Moment Linguistis Kritis

Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa (modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab. Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du discours, kita semakin memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau penutur).

Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants),[12] yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai.[13]

Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.

Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir klasik. Mereka mementingkan-dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur.

  1. Moment Antropologis: Analisis Mitis

Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang tidak lain adalah “the driving force behind the text”

Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis. Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole).[14]

Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mistis dalam Alkitab dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:

  1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
  2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf as-solih);
  3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada kesesuaian yang mendasar dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
  4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga Tuhan yang penuh dengan bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.

Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia. Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah:

  1. a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku;
  2. b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir Kehendak Sakral-Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul-mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain;
  3. c) “simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;
  4. d) “simbolisme hidup dan mati“.

Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi, saling memperkuat untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu…, sirat mustaqim, magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metafisis yang merasionalkan.[15]

Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim” misalnya, kita tidak hanya mengatakan– atau membuat konstatasi tentang–suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[16]

KESIMPULAN

 

Dalam memberikan makna kepada kitab suci alQuran, Muhammad Arkoun menggunakan beberapa fase yang harus ditempuh. Pertama, dengan mengumpulkan metode linguistis dari alQuran, dengan memeriksa tanda-tandanya. Kedua, dengan menggunakan bahasa mitis dalam alQuran, dengam menggunakan kata sebagai simbol. Dan terakhir, dengan menggunakan historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://curusetra.wordpress.com/2009/02/20/hermeneutika-muhamed-arkoun/

http://hanunah.blogspot.com/2007/04/pandangan-arkoun-tentang-al-quran.html

[1] http://hanunah.blogspot.com/2007/04/pandangan-arkoun-tentang-al-quran.html/18/10/2014

[2] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, hlm.94.

[3] Ibid.

[4] DRS. Suadi Putro, MA, Op. Cit., hlm. 18.

[5] Ibid., hlm. 17.

[6] Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., hlm. 62-63.

[7] Johan Hendrik Meuleman, op. cit. hlm. 12-13

[8] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam“, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, hlm. 157.

[9] Kriteriologi (kriteriologi) adalah himpunan dari berbagai kriteria atau ukuran (critere); Arkoun mengatakan misalnya, semua teks Arab dari abad pertengahan mematuhi kriteriologi yang ketat, yaitu himpunan keyakinan yang membentuk berbagai praanggapan dari setiap tindak pemahaman pada periode tersebut.

[10] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997, hlm. 48.

[11] Ibid., hlm. 51.

[12] Istilah Modalisatour, actant dan Poros dipijam Arkoun dari seorang Semiotikus kelahiran Lithuania, Alidas Julien Greimas. Secara intelektual, Greimas banyak dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure, sehingga, bisa ditebak, teorinya tentang semiotika juga bernuansa struktural (walaupun banyak modifikasi di sana-sini).

[13] St. Sunardi, Membaca Qur’an bersama Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LkiS, 1996, hlm. 60

[14] Untuk menghindari terjadinya kebingungan dan kerancuan mengenai alur pemikiran Arkoun, di sini perlu diuraikan secara singkat pengertian mengenai tanda (sign), simbol (symbol) dan mitos (myth). Tanda adalah segala sesuatu yang menunjuk di luar dirinya. Lima huruf r,u, m, a, dan h adalah tanda yang bisa menunjuk (designare) sesuatu di luar dirinya, yaitu rumah dalam realitasnya. Simbol juga semacam tanda. Setiap simbol adalah tanda,tetapi tidak setiap tanda simbol. Sebab, simbol mempunyai ciri khas: rujukan ganda. Merah misalnya, tidak saja berarti merah buat darah, tapi juga untuk simbol keberanian. Maka. Merah menjadi simbol karena memiliki rujukan ganda. Mitos adalah mirip simbol. Mitos adalah sejenis simbol yang diungkapkan dalam kisah atau cerita, yang terjadi dalam waktu dan tempat. Mitos adalah wahana orang untuk bisa cerita tentang kehidupan eksistensial dirinya sendiri, masyarakat, alam yang mendalam dan rumit. Karenanya, struktur cerita mitis sangat kental dan sublim. Lihat St. sunardi, Op. Cit., hlm. 81-82.

[15] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan…, Op.Cit., hlm. 57-60.

[16] St. Sunardi, op.cit., hlm. 87-88.

Tinggalkan komentar